BAB I
PENDAHULUAN
Serangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian yang dalam kasus ini adalah pemeliharaan anggrek. Untuk megendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia.
Ditengah maraknya budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas utama.
Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokhemikal telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai alternative teknologi untuk menurunkan populasi hama. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana.
Di Indonesia, hasil-hasil penelitian B. bassiana juga telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk mengendalikan serangga hama kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta) (Prayogo, 2006), Plutella xylostella pada sayursayuran (Hardiyanti, 2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakaoHypothenemus hampei (Sudarmadji dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006).
Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di lapang khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik cendawan-cendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan sistem pertanian.
BAB II
ISI
Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama Beauveria bassiana.
Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih (Gambar 1), bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya.
Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera.
Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988).
Serangga inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain:
Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya.
Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.
Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan temperatur serta sedikit cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi dan sporulasi cendawan entomopatogen (Roberts dan Campbell, 1977; McCoy et al., 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenisitas, dan kelulusan hidup cendawan umumnya antara 20-30°C (McCoy et al., 1988). Untuk perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat tinggi (> 90% RH), terutama kelembaban di lingkungan mikro sekitar konidia sangat penting perannya dalam proses perkecambahan dan produksi konidia (Millstein et al., 1983; Nordin et al., 1983). Tetapi sebaliknya untuk melepaskan konidia B. bassiana dari konidifor hanya dibutuhkan kelembaban sekitar 50% (Gottwald dan Tedders, 1982).
Meskipun pengaruh cahaya terhadap infeksi cendawan belum diketahui secara jelas, tetapi intensitas sinar ultraviolet tertentu dapat merusak konidia cendawan (Callaghan, 1969). Fuxa (1987) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari dengan rata-rata panjang gelombang antara 290-400 nm cukup efektif menurunkan persistensi deposit konidia pada pertanaman. Sementara Ignoffo et al. (1977) mengemukakan bahwa waktu paruh (half-life) sebagian besar spora cendawan yang terekspos cahaya buatan dengan panjang gelombang mendekati panjang gelombang sinar matahari (290-400 nm) hanya sekitar 1-4 jam, tetapi kenyataannya di lapang waktu paruh dapat mencapai lebih dari 4 jam.
Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi. Plate (1976) juga menyatakan bahwa epizootik cendawan yang terbentuk secara alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya.
Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun blastosporanya (Soper dan Ward, 1981; Feng et al., 1994). Konidia yang diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif menyebabkan mortalitas hama sasaran. Mortalitas hama semut api, Selenopsis invicta, yang dikendalikan dengan B. bassiana tertinggi mulai 3-8 hari setelah perlakuan. Sedangkan enkapsulasi (pellet) konidia B. bassiana dengan menggunakan kalsium alginat juga efektif meningkatkan mortalitas S. invicta (White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam tanah.
Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh B. bassiana, seperti beauvericin, bassianin, bassiacridin, bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al., 2000; Vey et al., 2001; Quesada-Moraga dan Vey, 2004). Senyawa metabolit sekunder ini dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada epizootik di alam (tanah) maupun pada epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder, atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al., 2001).
Penggunaan B. bassiana dalam pengendalian hama telah diuji secara luas di berbagai negara. Hasil uji toksikologi terhadap salah satu produk B. bassiana, Botanigard, menunjukkan bahwa produk tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berhubungan dengan patogenisitas dan toksisitasnya, sehingga produk tersebut digunakan secara aman selama lebih dari 10 tahun di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain (US EPA, 2006).
Cendawan B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas, sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran. Hal ini memungkinkan B. bassiana dapat menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna. Namun, Plate (1976) mengungkapkan bahwa tingkat kepekaan serangga bukan sasaran terhadap infeksi B. bassiana sangat ditentukan oleh virulensi dan patogenisitas cendawan, serta spesies serangga inang. Selain itu, perbedaan fisiologis dan ekologis inang juga mempengaruhi infeksi B. bassiana. Misalnya, serangga bukan sasaran yang mudah terinfeksi B. bassiana di laboratorium tidak akan serta merta terinfeksi pada kondisi lapang. Ludwig dan Oetting (2001) menegaskan bahwa beberapa serangga musuh alami yang peka terhadap infeksi B. bassiana di laboratorium ternyata mengalami infeksi sangat rendah pada uji di rumah kaca. Disamping itu, hasil uji ekotoksikologi terhadap produk Botanigard menunjukkan bahwa risiko secara ekologis yang diperlihatkan oleh serangga bukan sasaran yang diperlakukan dengan formulasi B. bassiana sangat rendah (US EPA, 2006).
Dihubungkan dengan keamanan secara hayati, cendawan entomopatogen dikelompokkan menjadi cendawan dengan kisaran inang spesifik dan yang kisaran inangnya luas (MacLeod, 1963). Cendawan yang memiliki kisaran inang spesifik umumnya menjadi parasit sejati (obligat) dan bersifat sangat virulen tarhadap inang. Sebaliknya yang kisaran inangnya luas sebagian besar merupakan patogen fakultatif, bersifat saprofit, dan cenderung kurang patogenik (Goettel et al., 1990), dan biasanya virulensinya tinggi hanya pada spesies inang dari mana cendawan tersebut pertama kali diisolasi. Contoh, B. bassiana yang diisolasi dari ulat H. armigera akan lebih patogenik pada inangnya tersebut dibanding dengan inang-inangnya yang lain. Selain itu, cendawan yang kisaran inangnya lebih luas justru menjadi lebih spesifik menginfeksi inang jika di lapang. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dipengaruhi oleh interaksi antara faktor abiotik dan biotik di lapang, sehingga serangga yang mudah terinfeksi di laboratorium belum tentu mudah juga terinfeksi di lapang. Oleh karena itu, kemungkinan terinfeksinya serangga bukan sasaran oleh B. bassiana di lapang sangat kecil. Dengan demikian, aplikasi B. bassiana di lapang cenderung aman bagi musuh alami atau serangga berguna lainnya. Infeksi B. bassiana pada manusia sangat jarang terjadi. Meskipun demikian, dilaporkan ada dua kasus infeksi B. bassiana yang menyebabkan mikosis pada manusia (Henke et al., 2002; Tucker et al., 2004). Namun infeksi tersebut terjadi pada kondisi kesehatan manusia yang sangat buruk akibat penyakit leukimia akut.
Pengujian Botanigard terhadap mamalia, burung, dan ikan juga tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap perkembangan hewan-hewan tersebut (US EPA, 2006).
Demikian pula pengujian terhadap sejumlah reptil maupun vertebrata yang membuktikan bahwa B. bassiana tidak menginfeksi keduanya (Georg et al., 1962; Fromtling et al., 1979; Gonzalez et al., 1995).
Cukup banyak tersedia bahan untuk media alami perbanyakan B. bassiana, antara lain: beras, gandum, kedelai, jagung, padi-padian, sorghum, kentang, roti, dan kacang-kacangan. Bahan mana yang akan digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemudahan memperoleh bahan tersebut, biaya, dan strain isolat yang akan diperbanyak. Dalam perbanyakan B. bassiana dengan bahan-bahan alami, untuk menghasilkan konidia dalam jumlah maksimal diperlukan media dengan partikel yang permukaannya lebih luas. Bahan media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan yang sempit, sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah media yang tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga yang dapat mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et al., 1984; Bradley et al., 1992).
Tiga jenis bahan media alami yang telah dicoba dalam perbanyakan B. bassiana skala besar di New Zealand adalah beras, gandum, dan barley. Hasilnya, beras merupakan media paling sesuai bagi perkembangan B. bassiana dengan produktivitas konidia tertinggi mencapai 4,38 x 109 konidia/g beras (Nelson dan Glare, 1996). Penggunaan berbagai jenis sereal, selain beras, sebagai media perbanyakan B. bassiana perlu dipertimbangkan mengingat kandungan nutrisinya yang sangat bervariasi (Jenkins et al., 1998). Perbedaan kandungan nutrisi ini sangat mempengaruhi produksi konidia, terutama per kelompok produksi (batch). Oleh karena itu, pemilihan bahan media perbanyakan harus dilakukan secara tepat, terutama memilih bahan yang memiliki kemampuan produksi konidia secara konsisten dalam kelompok-kelompok produksi. Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa beras putih merupakan bahan media perbanyakan B. bassiana yang tepat karena produksi konidia yang tinggi (Alves dan Pereira, 1989; Mendonca, 1992; Ibrahim dan Low, 1993; Milner et al., 1993). Hal tersebut
Menunjukkan bahwa kombinasi faktor-faktor produkai sangat kompatibel, termasuk keseimbangan nutrisi dalam bahan media, biaya produksi, kemudahan memperoleh bahan, karakter fisik bahan, seperti ukuran, bentuk, dan keutuhan bahan baik sebelum maupun setelah pengkolonisasian konidia.
Dalam perbanyakan, temperatur inkubasi dan cahaya sangat menentukan produktivitas konidia. Temperatur optimal setiap cendawan bervariasi tidak saja antar spesies, tetapi juga antar isolat (Thomas dan Jenkins, 1997; Alasoadura, 1963). Temperatur optimal untuk perkecambahan konidia adalah 25-30°C, dengan temperatur minimum 10°C dan maksimum 32°C. Sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan adalah 5,7-5,9, tapi idealnya pH 7-8 (Goral dan Lappa, 1972). Beberapa cendawan membutuhkan cahaya untuk proses sporulasi, sedangkan cendawan lainnya tidak terpengaruh oleh cahaya. Tetapi ada pula cendawan yang sporulasinya terhambat pada tingkat intensitas cahaya tertentu (Vouk dan Klas, 1931). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa B. bassiana yang diproduksi di lingkungan tanpa cahaya (gelap) konidianya cenderung berukuran lebih besar dan lebih virulen dibanding yang diproduksi pada tempat terang (Humphreys et al., 1989; Williams, 1959). Hal ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam memilih kemasan yang sesuai apabila biakan cendawan harus dibawa ke luar areal perbanyakan. Selain itu yang lebih penting dalam perbanyakan B. bassiana untuk skala komersial adalah kesesuaian produk dengan teknik formulasi dan aplikasinya.
Umumnya produk B. bassiana diformulasi dalam bentuk bubuk (powder) dan merupakan formulasi paling efektif memicu kontak dengan hama sasaran (Stimac et al., 1993). Formulasi B. bassiana berupa pellet hasil enkapsulasi miselium selain efektif untuk meningkatkan mortalitas hama juga untuk mengurangi kompetisi dengan mikroba lain, sehingga meningkatkan daya hidup B. bassiana (White, 1995).
Dalam jurnal diketahui kalau penambahan tepung tapioka sebanyak 1 g dan suhu penyimpanan 5OC, mempunyai potensi yang baik dalam mempertahankan viabilitas spora B. bassiana sekurang-kurangnya sampai dua bulan penyimpanan. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan daya simpan tepung tapioka yang lebih baik daripada tepung beras dan maizena serta didukung oleh suhu rendah yang sesuai untuk mempertahankan viabilitas spora B. bassiana. Terjadi penurunan viabilitas spora kering B. bassiana lebih cepat, seiring dengan semakin meningkatnya dosis pembawa, suhu dan lama penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 5OC menunjukkan kemampuan mempertahankan viabilitas spora B. bassiana kering murni lebih lama daripada kondisi suhu 23C dan suhu 29C.
BAB III
PENUTUP
Perkembangan pemanfaatan cendawan entomopatogen B. bassiana cukup pesat, karena cendawan ini dapat mengendalikan berbagai spesies serangga hama, baik yang hidup pada kanopi tanaman maupun di dalam tanah. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami.
DAFTAR PUSTAKA
Soetopo,Deciyanto dan Iga Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Prospektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007 : 29 – 46
Sri-Sukamto dan Kelik yuliantoro. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Viabilitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Dalam Beberapa Pembawa. Pelita Perkebunan 2006, 22(1), 40—57.
Trisawa dan Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik Renda Lada Diconocoris hewetti (DIST.) (HEMIPTERA: TINGIDAE). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 99 – 106
Sumber berita: klik disini.
PENDAHULUAN
Serangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian yang dalam kasus ini adalah pemeliharaan anggrek. Untuk megendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia.
Ditengah maraknya budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas utama.
Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokhemikal telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai alternative teknologi untuk menurunkan populasi hama. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana.
Di Indonesia, hasil-hasil penelitian B. bassiana juga telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk mengendalikan serangga hama kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta) (Prayogo, 2006), Plutella xylostella pada sayursayuran (Hardiyanti, 2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakaoHypothenemus hampei (Sudarmadji dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006).
Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di lapang khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik cendawan-cendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan sistem pertanian.
BAB II
ISI
Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama Beauveria bassiana.
Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih (Gambar 1), bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya.
Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera.
Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988).
Serangga inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain:
- kutu pengisap (aphid),
- kutu putih (whitefly),
- belalang,
- hama pengisap,
- lalat,
- kumbang,
- ulat,
- thrips,
- tungau, dan beberapa spesies uret.
Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya.
Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.
Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan temperatur serta sedikit cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi dan sporulasi cendawan entomopatogen (Roberts dan Campbell, 1977; McCoy et al., 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenisitas, dan kelulusan hidup cendawan umumnya antara 20-30°C (McCoy et al., 1988). Untuk perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat tinggi (> 90% RH), terutama kelembaban di lingkungan mikro sekitar konidia sangat penting perannya dalam proses perkecambahan dan produksi konidia (Millstein et al., 1983; Nordin et al., 1983). Tetapi sebaliknya untuk melepaskan konidia B. bassiana dari konidifor hanya dibutuhkan kelembaban sekitar 50% (Gottwald dan Tedders, 1982).
Meskipun pengaruh cahaya terhadap infeksi cendawan belum diketahui secara jelas, tetapi intensitas sinar ultraviolet tertentu dapat merusak konidia cendawan (Callaghan, 1969). Fuxa (1987) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari dengan rata-rata panjang gelombang antara 290-400 nm cukup efektif menurunkan persistensi deposit konidia pada pertanaman. Sementara Ignoffo et al. (1977) mengemukakan bahwa waktu paruh (half-life) sebagian besar spora cendawan yang terekspos cahaya buatan dengan panjang gelombang mendekati panjang gelombang sinar matahari (290-400 nm) hanya sekitar 1-4 jam, tetapi kenyataannya di lapang waktu paruh dapat mencapai lebih dari 4 jam.
Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi. Plate (1976) juga menyatakan bahwa epizootik cendawan yang terbentuk secara alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya.
Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun blastosporanya (Soper dan Ward, 1981; Feng et al., 1994). Konidia yang diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif menyebabkan mortalitas hama sasaran. Mortalitas hama semut api, Selenopsis invicta, yang dikendalikan dengan B. bassiana tertinggi mulai 3-8 hari setelah perlakuan. Sedangkan enkapsulasi (pellet) konidia B. bassiana dengan menggunakan kalsium alginat juga efektif meningkatkan mortalitas S. invicta (White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam tanah.
Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh B. bassiana, seperti beauvericin, bassianin, bassiacridin, bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al., 2000; Vey et al., 2001; Quesada-Moraga dan Vey, 2004). Senyawa metabolit sekunder ini dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada epizootik di alam (tanah) maupun pada epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder, atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al., 2001).
Penggunaan B. bassiana dalam pengendalian hama telah diuji secara luas di berbagai negara. Hasil uji toksikologi terhadap salah satu produk B. bassiana, Botanigard, menunjukkan bahwa produk tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berhubungan dengan patogenisitas dan toksisitasnya, sehingga produk tersebut digunakan secara aman selama lebih dari 10 tahun di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain (US EPA, 2006).
Cendawan B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas, sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran. Hal ini memungkinkan B. bassiana dapat menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna. Namun, Plate (1976) mengungkapkan bahwa tingkat kepekaan serangga bukan sasaran terhadap infeksi B. bassiana sangat ditentukan oleh virulensi dan patogenisitas cendawan, serta spesies serangga inang. Selain itu, perbedaan fisiologis dan ekologis inang juga mempengaruhi infeksi B. bassiana. Misalnya, serangga bukan sasaran yang mudah terinfeksi B. bassiana di laboratorium tidak akan serta merta terinfeksi pada kondisi lapang. Ludwig dan Oetting (2001) menegaskan bahwa beberapa serangga musuh alami yang peka terhadap infeksi B. bassiana di laboratorium ternyata mengalami infeksi sangat rendah pada uji di rumah kaca. Disamping itu, hasil uji ekotoksikologi terhadap produk Botanigard menunjukkan bahwa risiko secara ekologis yang diperlihatkan oleh serangga bukan sasaran yang diperlakukan dengan formulasi B. bassiana sangat rendah (US EPA, 2006).
Dihubungkan dengan keamanan secara hayati, cendawan entomopatogen dikelompokkan menjadi cendawan dengan kisaran inang spesifik dan yang kisaran inangnya luas (MacLeod, 1963). Cendawan yang memiliki kisaran inang spesifik umumnya menjadi parasit sejati (obligat) dan bersifat sangat virulen tarhadap inang. Sebaliknya yang kisaran inangnya luas sebagian besar merupakan patogen fakultatif, bersifat saprofit, dan cenderung kurang patogenik (Goettel et al., 1990), dan biasanya virulensinya tinggi hanya pada spesies inang dari mana cendawan tersebut pertama kali diisolasi. Contoh, B. bassiana yang diisolasi dari ulat H. armigera akan lebih patogenik pada inangnya tersebut dibanding dengan inang-inangnya yang lain. Selain itu, cendawan yang kisaran inangnya lebih luas justru menjadi lebih spesifik menginfeksi inang jika di lapang. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dipengaruhi oleh interaksi antara faktor abiotik dan biotik di lapang, sehingga serangga yang mudah terinfeksi di laboratorium belum tentu mudah juga terinfeksi di lapang. Oleh karena itu, kemungkinan terinfeksinya serangga bukan sasaran oleh B. bassiana di lapang sangat kecil. Dengan demikian, aplikasi B. bassiana di lapang cenderung aman bagi musuh alami atau serangga berguna lainnya. Infeksi B. bassiana pada manusia sangat jarang terjadi. Meskipun demikian, dilaporkan ada dua kasus infeksi B. bassiana yang menyebabkan mikosis pada manusia (Henke et al., 2002; Tucker et al., 2004). Namun infeksi tersebut terjadi pada kondisi kesehatan manusia yang sangat buruk akibat penyakit leukimia akut.
Pengujian Botanigard terhadap mamalia, burung, dan ikan juga tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap perkembangan hewan-hewan tersebut (US EPA, 2006).
Demikian pula pengujian terhadap sejumlah reptil maupun vertebrata yang membuktikan bahwa B. bassiana tidak menginfeksi keduanya (Georg et al., 1962; Fromtling et al., 1979; Gonzalez et al., 1995).
Cukup banyak tersedia bahan untuk media alami perbanyakan B. bassiana, antara lain: beras, gandum, kedelai, jagung, padi-padian, sorghum, kentang, roti, dan kacang-kacangan. Bahan mana yang akan digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemudahan memperoleh bahan tersebut, biaya, dan strain isolat yang akan diperbanyak. Dalam perbanyakan B. bassiana dengan bahan-bahan alami, untuk menghasilkan konidia dalam jumlah maksimal diperlukan media dengan partikel yang permukaannya lebih luas. Bahan media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan yang sempit, sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah media yang tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga yang dapat mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et al., 1984; Bradley et al., 1992).
Tiga jenis bahan media alami yang telah dicoba dalam perbanyakan B. bassiana skala besar di New Zealand adalah beras, gandum, dan barley. Hasilnya, beras merupakan media paling sesuai bagi perkembangan B. bassiana dengan produktivitas konidia tertinggi mencapai 4,38 x 109 konidia/g beras (Nelson dan Glare, 1996). Penggunaan berbagai jenis sereal, selain beras, sebagai media perbanyakan B. bassiana perlu dipertimbangkan mengingat kandungan nutrisinya yang sangat bervariasi (Jenkins et al., 1998). Perbedaan kandungan nutrisi ini sangat mempengaruhi produksi konidia, terutama per kelompok produksi (batch). Oleh karena itu, pemilihan bahan media perbanyakan harus dilakukan secara tepat, terutama memilih bahan yang memiliki kemampuan produksi konidia secara konsisten dalam kelompok-kelompok produksi. Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa beras putih merupakan bahan media perbanyakan B. bassiana yang tepat karena produksi konidia yang tinggi (Alves dan Pereira, 1989; Mendonca, 1992; Ibrahim dan Low, 1993; Milner et al., 1993). Hal tersebut
Menunjukkan bahwa kombinasi faktor-faktor produkai sangat kompatibel, termasuk keseimbangan nutrisi dalam bahan media, biaya produksi, kemudahan memperoleh bahan, karakter fisik bahan, seperti ukuran, bentuk, dan keutuhan bahan baik sebelum maupun setelah pengkolonisasian konidia.
Dalam perbanyakan, temperatur inkubasi dan cahaya sangat menentukan produktivitas konidia. Temperatur optimal setiap cendawan bervariasi tidak saja antar spesies, tetapi juga antar isolat (Thomas dan Jenkins, 1997; Alasoadura, 1963). Temperatur optimal untuk perkecambahan konidia adalah 25-30°C, dengan temperatur minimum 10°C dan maksimum 32°C. Sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan adalah 5,7-5,9, tapi idealnya pH 7-8 (Goral dan Lappa, 1972). Beberapa cendawan membutuhkan cahaya untuk proses sporulasi, sedangkan cendawan lainnya tidak terpengaruh oleh cahaya. Tetapi ada pula cendawan yang sporulasinya terhambat pada tingkat intensitas cahaya tertentu (Vouk dan Klas, 1931). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa B. bassiana yang diproduksi di lingkungan tanpa cahaya (gelap) konidianya cenderung berukuran lebih besar dan lebih virulen dibanding yang diproduksi pada tempat terang (Humphreys et al., 1989; Williams, 1959). Hal ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam memilih kemasan yang sesuai apabila biakan cendawan harus dibawa ke luar areal perbanyakan. Selain itu yang lebih penting dalam perbanyakan B. bassiana untuk skala komersial adalah kesesuaian produk dengan teknik formulasi dan aplikasinya.
Umumnya produk B. bassiana diformulasi dalam bentuk bubuk (powder) dan merupakan formulasi paling efektif memicu kontak dengan hama sasaran (Stimac et al., 1993). Formulasi B. bassiana berupa pellet hasil enkapsulasi miselium selain efektif untuk meningkatkan mortalitas hama juga untuk mengurangi kompetisi dengan mikroba lain, sehingga meningkatkan daya hidup B. bassiana (White, 1995).
Dalam jurnal diketahui kalau penambahan tepung tapioka sebanyak 1 g dan suhu penyimpanan 5OC, mempunyai potensi yang baik dalam mempertahankan viabilitas spora B. bassiana sekurang-kurangnya sampai dua bulan penyimpanan. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan daya simpan tepung tapioka yang lebih baik daripada tepung beras dan maizena serta didukung oleh suhu rendah yang sesuai untuk mempertahankan viabilitas spora B. bassiana. Terjadi penurunan viabilitas spora kering B. bassiana lebih cepat, seiring dengan semakin meningkatnya dosis pembawa, suhu dan lama penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 5OC menunjukkan kemampuan mempertahankan viabilitas spora B. bassiana kering murni lebih lama daripada kondisi suhu 23C dan suhu 29C.
BAB III
PENUTUP
Perkembangan pemanfaatan cendawan entomopatogen B. bassiana cukup pesat, karena cendawan ini dapat mengendalikan berbagai spesies serangga hama, baik yang hidup pada kanopi tanaman maupun di dalam tanah. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami.
DAFTAR PUSTAKA
Soetopo,Deciyanto dan Iga Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Prospektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007 : 29 – 46
Sri-Sukamto dan Kelik yuliantoro. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Viabilitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Dalam Beberapa Pembawa. Pelita Perkebunan 2006, 22(1), 40—57.
Trisawa dan Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik Renda Lada Diconocoris hewetti (DIST.) (HEMIPTERA: TINGIDAE). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 99 – 106
Sumber berita: klik disini.
0 Response to "Prospek Beauveria bassiana sebagai Bioinsectisida "
Posting Komentar